[ad_1]
Rencana Thailand untuk menghidupkan kembali jasa komersial ibu pengganti, menghadirkan kembali ketakutan lama terkait praktik perdagangan manusia untuk bayi dan perempuan yang disewa untuk mengandungnya. Praktik ini telah dilarang di negara tersebut sekitar satu dekade yang lalu setelah sejumlah skandal.
“Ada banyak kekhawatiran,” kata Sunwanee Dolah, yang telah melakukan konsultasi dengan kelompok-kelompok lokal dalam isu terkait perdagangan manusia dan hak-hak perempuan.
“Mungkin, banyak orang akan menjadi korban perdagangan manusia, atau akan dipaksa untuk menyediakan layanan itu, jika jasa ibu pengganti komersial dilegalkan,” kata dia lagi kepada Seleb.News.
Sura Visetsak, yang memimpin departemen pendukung layanan kesehatan di Kementerian Kesehatan Publik, telah mengumumkan rencana itu awal bulan ini, untuk sebuah draft legislasi untuk melegalkan jasa ibu pengganti komersial, baik untuk pasangan lokal maupun pasangan warga negara asing. Rencana itu merupakan bagian dari sebuah paket reformasi yang bertujuan menaikkan kembali angka kelahiran di negara tersebut yang terus turun.
Reuters melaporkan bahwa kementerian bermaksud untuk menyerahkan RUU tersebut ke kabinet Thailand bulan ini. Jika diterima oleh kabinet, RUU itu kemudian akan diserahkan ke Dewan Nasional untuk pemungutan suara.
Jika diberlakukan, RUU itu akan menghapus larangan terhadap jasa ibu pengganti komersial yang diberlakukan pada 2015, di tengah munculnya kasus-kasus kontroversial.
Pada 2014, satu pasangan dari Australia dituduh menelantarkan bayi laki-laki dan meninggalkannya di ibu penggantinya di Thailand, setelah mengetahui bahwa bayi tersebut memiliki down syndrome. Pada tahun yang sama, polisi Thailand menguak sebuah kasus dimana laki-laki Jepang yang menjadi ayah bagi 13 anak dengan sejumlah ibu pengganti di Thailand. Meskipun polisi awalnya menuduh laki-laki itu menjalankan skema perdagangan bayi, pengadilan Thailand akhirnya menolak dakwaan tersebut dan memberinya hak asuh bagi anak-anak tersebut.
Dalam aturan hukum yang saat ini berlaku, hanya pasangan heteroseksual, dimana salah satunya adalah warga Thailand, yang bisa menggunakan jasa layanan ibu pengganti di negara itu. Ibu pengganti tersebut juga harus merupakan warga Thailand dan memiliki kekerabatan dengan pihak suami atau istri, dan tidak boleh ada biaya untuk layanan tersebut.
Kementerian Kesehatan Publik menolak permintaan Seleb.News untuk berkomentar atau memberikan wawancara terkait rencana untuk penghapusan pembatasan tersebut.
Sanphasit Koompraphant, yang telah memberikan masukan baik kepada pemerintah maupun kelompok-kelompok non pemerintah terkait taktik anti-perdagangan manusia, mengatakan bahwa dia khawatir upaya ini disetir oleh professional media yang berharap pada uang terkait jasa ibu pengganti. Dia juga khawatir bahwa kebijakan ini akan menguras sistem perawatan kesehatan negara tersebut dari dokter dan sumber daya lain yang terbatas, yang lebih dibutuhkan di tempat-tempat lain.
“Kita akan mengalihkan dokter medis dari layanan kesehatan ke program ibu pengganti ini,” kata Sanphasit, mantan Ketua Aliansi Anti-Perdagangan Orang Thailand kepada Seleb.News.
“Ini juga bermakna bahwa banyak orang yang lebih miskin atau memiliki status ekonomi lebih rendah, dari mereka yang menggunakan jasa dokter untuk layanan ibu pengganti tidak akan memperoleh layanan kesehatan yang baik,” kata dia.
Sanphasit mengatakan, dia takut legalisasi jasa ibu pengganti komersial akan memperluas layanan itu dan membuat otoritas kesulitan untuk mengelolanya, dan membuat jasa layanan ini terbuka lebar untuk tindak penyalahgunaan, termasuk lebih banyak perdagangan manusia.
Namun, pihak yang lain menyambut baik rencana pemerintah itu.
Risiko perdagangan manusia yang disebabkan oleh jasa layanan ibu pengganti terasa dilebih-lebihnya, kata Maya Linstrum-Newman, kepala kebijakan Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan yang berbasis di Bangkok.
Meskipun risiko itu ada, dia mengatakan bahwa itu sebanding dengan, dan bisa mengalihkan perhatian dari, praktik perdagangan manusia yang muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih umum dari kerja paksa.
Linstrum-Newman juga mengatakan, kriminalisasi terhadai jasa ibu pengganti, seperti yang diterapkan Thailand pada 2015, tidak mampu menghentikan praktik tersebut tetapi justru membuatnya ada di bawah pengawasan, yang membuat praktik ini semakin berbahaya bagi perempuan dan bayi yang terlibat.
“Jadi, dengan tidak menjadikan praktik ini sebagai tindakan criminal, mereka akan jauh lebih bebas untuk melaporkan situasi eksploitasi dan menerima dukungan, dan eksploitasi itu kecil kemungkinan akan terjadi karena mereka akan lebih mampu mencari nasehat baik dari pengacara atau dari orang lain yang dapat memberikan saran praktis,” kata dia kepada Seleb.News. [ns/jm]
[ad_2]