[ad_1]
Ribuan Muslim berkumpul di ibu kota Bangladesh setelah salat Jumat (26/1) untuk menggelar unjuk rasa menentang pengakuan negara terhadap transgender di buku-buku pelajaran sekolah.
Perempuan transgender semakin mendapat pengakuan hukum di Bangladesh, di mana mereka secara resmi diakui sebagai gender ketiga.
Perombakan kurikulum tahun lalu mencakup pengakuan perempuan transgender dalam buku-buku pelajaran sekolah.
Salah satu buku ilmu sosial menceritakan kisah seorang anak laki-laki bernama Sharif yang menjalani transisi sebagai perempuan transgender dan mengambil nama perempuan Sharifa. Dalam buku itu, ia diceritakan tinggal bersama para transgender lainnya.
Polisi setempat Zakir Hossain mengatakan sekitar 5.000 orang bergabung dalam unjuk rasa menentang perubahan itu di luar Masjid Baitul Mukarram di pusat Dhaka, yang diselenggarakan oleh salah satu partai Islam terbesar di Bangladesh.
“Kami tidak akan membiarkan Sharif menjadi Sharifa,” teriak para pengunjuk rasa, yang juga meneriakkan slogan-slogan yang menuntut komunitas transgender Bangladesh yang cukup besar untuk meninggalkan negara yang mayoritas Muslim tersebut.
Beberapa ratus mahasiswa di salah satu universitas terkemuka di Dhaka minggu ini memprotes pemecatan dosen Asif Mahtab Utsha karena ia mengecam dimasukkannya konten transgender dalam kurikulum.
Hijra, sebutan bagi perempuan transgender di Asia Selatan, semakin terlihat di masyarakat Bangladesh seiring dengan semakin luasnya pengakuan hukum.
Beberapa di antaranya telah memasuki dunia politik Bangladesh, dan pada tahun 2021 seorang perempuan transgender menjadi wali kota untuk pertama kalinya di negara tersebut.
Namun komunitas LGBTQ masih menghadapi diskriminasi yang meluas di Bangladesh.
Undang-undang era kolonial masih berlaku untuk menghukum hubungan seks sesama jenis dengan hukuman penjara, meskipun penegakan hukumnya jarang terjadi. [ab/lt]
[ad_2]