[ad_1]
Hootsuite memperkirakan jumlah pengguna teknologi AI di Amerika Serikat (AS) akan melebihi 100 juta pada 2024. Pada 2025, platform manajemen informasi media sosial itu memperkirakan lebih dari setengah warga AS usia 12 hingga 44 akan menggunakan AI generatif.
AI bisa didapati hampir setiap saat, dari penggunaan telepon pintar dengan teknologi “facial recognition” hingga pengecekan tata bahasa dalam tulisan. Namun teknologi yang dikembangkan dengan tujuan mempermudah hidup manusia tersebut masih menimbulkan pandangan yang berbeda ketika diterapkan dalam dunia pendidikan.
Konsultan marketing Sandra Suryanto mengaku ‘akrab’ dengan AI. Namun ia tidak ingin anaknya, mahasiswi tingkat tiga, juga akrab dengan AI. Cukup sampai tahap mendapat ide dan sebagai pedoman, selanjutnya harus menyelesaikan dengan menggunakan kreativitas sendiri.
“Saya percaya tekonologi itu kan dibuat berdasarkan kreativitas dari seseorang, Jadi kalau kita terlalu bergantung dengan teknologi tanpa menggunakan kreativitas, lama-lama mungkin kita menjadi seperti robot ya, jadi kita sudah nggak pernah berpikir lagi,” kata Sandra.
Amalla Vesta, ‘personal travel consultant’ berbasis di Jakarta, mengatakan sejumlah temannya yang berprofesi sebagai ‘content creator’ banyak menggunakan AI untuk kepentingan promosi melalui media sosial. Namun, ia dan kedua anaknya tidak banyak menggunakannya karena belum ada kebutuhan.
Sebaliknya, Wan Agus membutuhkan AI karena terkait profesinya sebagai teknisi piranti lunak atau software engineer. AI, kata Agus, mempermudah riset untuk pekerjaan dan di luar pekerjaan, seperti mencari tahu tentang satu produk sebelum membelinya, atau merencanakan liburan keluarga.
Ia mengajarkan kedua anaknya cara menggunakan AI dalam membantu menemukan solusi secara efisien tanpa curang. Bagi anak pertamanya yang kuliah di tingkat dua, fungsi AI lebih sebagai asisten riset yang membantu mengumpulkan informasi, tetapi analisa dan penyatuan data selanjutnya dilakukan sendiri.
Bagi anaknya yang kelas 2 SMP, penggunaan AI masih pada tahap game dan hiburan yang diharapkan kelak dapat mendidiknya untuk menggunakan teknologi tersebut.
“Orang tua mesti membiasakan anak belajar pakai itu. Lalu nanti di masa depan juga kelihatannya sih bakal banyak juga anak-anak itu belajar, tutoring-nya dari AI juga gitu. Jadi, kayaknya efektif banget. Jadi, semua jelas sebuah natural use case, at least for now,” jelasnya.
Sementara bagi Moza Pramita, seorang partnership consultant yang berbasis di Jakarta, walaupun jarang menggunakan AI secara pribadi, lingkungan kerjanya menggunakan teknologi tersebut untuk kebutuhan klien dan pengembangan branding. Namun, ibu dari dua anak, kelas 11 dan kuliah tingkat dua, ini membatasi penggunaan AI agar lingkungan kerjanya tidak sekadar “copy paste” dari AI.
“Justru kami ini orang tua gen-X banyak belajar dari anak-anak yang jauh lebih maju untuk urusan tersebut. Mereka malah cerita, akan kena getahnya kalau dalam mengerjakan tugas, tugas mereka itu benar-benar ketahuan copy paste atau cuma sekadar cari di AI karena para pengajar juga sekarang sudah sangat jeli,” tukas dia.
Pemerhati komunikasi dan budaya digital Firman Kurniawan mengatakan bahwa pada zaman sekarang, banyak sekali ditawarkan berbagai aplikasi teknologi berbasis AI, mulai dari penerjemah berbagai bahasa, penulis pidato, hingga aplikasi untuk desain grafis maupun pengelolaan konten media sosial. Hampir seluruhnya tersedia dengan murah, bahkan gratis
Dosen Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa AI sangat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Artikulasi hingga visualisasi pengetahuan yang selama ini terbatas pada penjelasan dari para pengajar, dapat dioptimalkan dengan pemanfaatan AI. Ini, menurutnya, membuka kesempatan bagi peserta didik untuk lebih cerdas dan berkembang.
Namun demikian, Firman menjelaskan bahwa kenyamanan yang terbawa oleh teknologi berbasis AI, membuat para peserta didik terbuai. Mereka menjadi bergantung pada output yang diberikan AI sehinga kognisi, akal pikiran kurang difungsikan.
“Ini sungguh pisau bermata dua: manfaat yang diberikan harus ditukar dengan kurang berfungsinya perangkat berpikir manusia. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada AI justru menghasilkan disfungsi kognisi,” ujar Firman.
Firman menyimpulkan bahwa AI dalam dunia pendidikan perlu disikapi dengan bijaksana. Jangan dilarang, tetapi juga jangan bergantung sepenuhnya. [aa/ka]
[ad_2]