[ad_1]
Film “Oppenheimer” akhirnya tayang perdana, Jumat (29/3), di negara yang dua kotanya dihancurkan 79 tahun lalu oleh senjata nuklir yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika yang menjadi subjek film pemenang Oscar itu. Reaksi para penonton film itu beragam dan sangat emosional.
Toshiyuki Mimaki, yang selamat dari pemboman Hiroshima ketika ia berusia tiga tahun, mengatakan bahwa ia terpesona dengan kisah J. Robert Oppenheimer, yang sering disebut sebagai “bapak bom atom” karena memimpin Proyek Manhattan.
“Apa yang dipikirkan Jepang, ketika mereka melancarkan serangan ke Pearl Harbor, memulai perang yang tidak pernah mereka harapkan bisa dimenangkan,” katanya, dengan nada sedih yang terdengar dari suaranya, dalam wawancara telepon dengan kantor berita The Associated Press.
Dia sekarang menjadi ketua kelompok korban bom yang disebut Organisasi Penderita akibat Bom A dan H, dan dia menonton Oppenheimer pada acara prapertunjukan. “Sepanjang film, saya menunggu dan menunggu adegan pengeboman Hiroshima terjadi, tapi hal itu tidak pernah terjadi,” kata Mimaki.
Oppenheimer tidak secara langsung menggambarkan apa yang terjadi di lapangan ketika bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, yang menyebabkan sekitar 100.000 orang langsung menjadi abu, dan membunuh ribuan lainnya pada hari-hari berikutnya, sebagian besar warga sipil.
Film ini justru berfokus pada Oppenheimer sebagai pribadi dan konflik internalnya.
Perilisan film tersebut di Jepang, lebih dari delapan bulan setelah tayang di AS, ditonton dengan rasa tidak menentu karena sensitivitas pokok bahasannya.
Mantan Walikota Hiroshima Takashi Hiraoka, yang berbicara pada acara prapertunjukan film itu lebih kritis terhadap apa tidak ada dalam film itu.
“Dari sudut pandang Hiroshima, kengerian senjata nuklir tidak cukup digambarkan,” katanya seperti dikutip media Jepang. “Film ini dibuat untuk memvalidasi kesimpulan bahwa bom atom digunakan untuk menyelamatkan nyawa orang Amerika.” [lt/ab]
[ad_2]