[ad_1]
Vatikan pada hari Senin (8/4) menyatakan bahwa operasi penyesuaian gender dan surogasi (proses ketika seorang wanita mengandung dan melahirkan anak untuk orang lain) merupakan ancaman besar terhadap martabat manusia, menempatkannya setara dengan aborsi dan eutanasia sebagai praktik yang melanggar rencana Tuhan bagi kehidupan manusia.
Kantor doktrin Vatikan menerbitkan “Martabat Tak Terbatas,” sebuah dokumen setebal 20 halaman yang telah disusun selama lima tahun.
Setelah melalui proses revisi substantif dalam beberapa bulan terakhir, dokumen itu disetujui pada 25 Maret lalu oleh Paus Fransiskus, yang memerintahkan penerbitannya.
Pada bagian yang paling ditunggu-tunggu, Vatikan menegaskan kembali penolakannya terhadap “teori gender” atau gagasan bahwa gender seseorang dapat diubah.
Dokumen itu menyatakan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai mahluk yang berbeda secara biologis dan terpisah, dan manusia tidak boleh mengutak-atik rencana tersebut atau mencoba “menjadikan diri sendiri sebagai Tuhan.”
“Oleh karena itu, setiap intervensi perubahan jenis kelamin, pada umumnya, berisiko mengancam martabat unik seseorang yang telah diterimanya sejak masa pembuahan,” bunyi dokumen tersebut.
“Karena kami percaya bahwa ideologi-ideologi ini, alih-alih membantu mengakui martabat, justru memiskinkan visi humanistik di mana laki-laki dan perempuan adalah kombinasi terindah dalam perbedaan terbesar yang dimiliki umat manusia.
Ini tidak ada bandingannya,” kata Kardinal Victor Manuel Fernandez pada konferensi pers, hari Senin.
Dokumen itu juga membedakan operasi penyesuaian gender, yang ditolaknya, dengan “kelainan genital” yang muncul saat lahir atau yang muncul pada kemudian hari.
Kelainan itu dapat “ditangani” dengan bantuan profesional layanan kesehatan, katanya.
Keberadaan dokumen yang sudah dikabarkan sejak tahun 2019 itu dikonfirmasi beberapa minggu terakhir oleh pejabat baru Kongregasi Ajaran Iman, Kardinal Victor Manuel Fernandez, orang kepercayaan Puas Fransiskus.
Ia menyebutnya sebagai bentuk dukungan terhadap kaum konservatif setelah sebelumnya menulis sebuah dokumen yang lebih eksplosif yang menyetujui pemberkatan bagi pasangan sesama jenis, yang memicu kritik dari para uskup konservatif di seluruh dunia, terutama di Afrika.
Meski menolak teori gender, dokumen itu dengan tegas menyalahkan negara-negara yang mengkriminalisasi homoseksualitas, termasuk banyak di antaranya di benua Afrika.
Hal itu sejalan dengan pernyataan Paus Fransiskus dalam wawancaranya dengan The Associated Press bahwa “menjadi homoseksual bukanlah suatu kejahatan” sehingga membuat pernyataan itu menjadi bagian dari ajaran doktrinal Vatikan kini.
Dokumen baru itu mengecam “fakta yang bertentangan dengan martabat manusia bahwa, di beberapa tempat, tidak sedikit orang yang dipenjara, disiksa dan bahkan dihilangkan kesempatannya untuk hidup dengan baik hanya karena orientasi seksual mereka.”
“Pada awal dokumen ini disebutkan bahwa merupakan hal yang bertentangan dengan martabat manusia ketika seseorang dianiaya, disiksa, dipenjara, bahkan dibunuh hanya karena dirinya gay, hanya karena orientasi seksualnya, sesuatu yang juga terjadi secara legal di banyak negara di dunia,” tambah Fernandez.
Dokumen itu merupakan pengemasan ulang sikap-sikap Vatikan yang telah dinyatakan sebelumnya.
Dokumen itu kembali menegaskan doktrin Katolik yang terkenal, yang menentang aborsi dan eutanasia. Selain itu, ditambahkan pula beberapa keprihatinan Fransiskus sebagai paus, di antaranya ancaman terhadap martabat manusia akibat kemiskinan, perang, perdagangan manusia dan migrasi paksa.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa surogasi atau prosedur ibu pengganti melanggar martabat ibu pengganti maupun anak yang dikandung.
Meskipun banyak pembahasan terkait surogasi berfokus pada kemungkinan eksploitasi perempuan miskin yang dijadikan ibu pengganti, dokumen Vatikan justru lebih berfokus pada anak yang dihasilkan dari prosedur tersebut.
“Anak memiliki hak untuk memiliki asal-usul yang sepenuhnya manusiawi (dan bukan dibuat secara tidak alami) dan untuk menerima anugerah kehidupan yang melambangkan martabat pemberi dan penerimanya,” bunyi dokumen itu.
“Dengan pertimbangan ini, keinginan sah untuk memiliki anak tidak dapat diubah menjadi ‘hak atas anak’ yang tidak menghormati harkat dan martabat anak tersebut sebagai penerima anugerah kehidupan.”
Vatikan menerbitkan sikapnya yang paling jelas terkait isu gender pada 2019, ketika Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menolak gagasan bahwa orang bisa memilih atau mengubah gender mereka dan menekankan keberadaan organ seks biologis laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi untuk menciptakan kehidupan yang baru.
Vatikan menyebut ketidakstabilan gender (gender fluidity) sebagai gejala dari “konsep kebebasan yang membingungkan” dan “keinginan sesaat” yang menjadi ciri budaya pascamodern.
Paus Fransiskus telah menjadikan upaya untuk menjangkau kelompok LGBTQ+ sebagai ciri khas kepausannya, melayani kaum trans Katolik dan menegaskan bahwa Gereja Katolik harus menyambut semua anak Tuhan.
Namun ia juga mengecam “teori gender” sebagai “bahaya terburuk” yang dihadapi umat manusia saat ini. Ia menyebutnya sebagai sebuah “ideologi buruk” yang mengancam akan menghilangkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti yang diberikan Tuhan.
Ia khususnya mengecam apa yang disebutnya sebagai “penjajahan ideologis” Barat di negara-negara berkembang, di mana bantuan pembangunan kadang-kadang diberikan dengan syarat mengadopsi gagasan-gagasan Barat tentang gender dan kesehatan reproduksi.
“Perlu ditekankan bahwa jenis kelamin biologis dan peran sosiokultural dari jenis kelamin (gender) dapat dibedakan tetapi tidak dipisahkan,” demikian jelas dokumen itu.
Dokumen itu diterbitkan saat muncul penentangan terhadap masyarakat transgender, termasuk di AS, di mana parlemen-parlemen negara bagian yang dikuasai Partai Republik mempertimbangkan penyusunan rancangan undang-undang yang membatasi perawatan medis anak-anak transgender, dan dalam beberapa kasus juga orang dewasa. [rd/lt]
[ad_2]