[ad_1]
Di sebuah kamar tidur di Malaysia yang telah berubah menjadi penjara, seorang gadis berusia 14 tahun menyeka air matanya sambil duduk bersila di lantai beton. Di sini lah, katanya, suaminya yang berusia 35 tahun memperkosanya hampir setiap malam.
Tahun lalu, gadis Rohingya tersebut sengaja mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan keluarganya. Ia memulai perjalanan mengerikan dari kampung halamannya di Myanmar ke negara yang belum pernah dilihatnya, hanya untuk menikahi pria yang belum pernah ia temui.
Pernikahan itu bukan pilihannya. Tidak ada satu pun yang menjadi pilihannya, baik keputusan untuk meninggalkan segala yang diketahuinya, maupun pernikahan dengan orang asing yang diatur tanpa kesiapan.
Namun keluarganya, katanya, berada dalam bencana kemiskinan, kelaparan dan dihantui ketakutan terhadap militer Myanmar. Dalam keputusasaan, seorang tetangga menemukan seorang pria di Malaysia yang bersedia membayar 18.000 ringgit atau sekitar Rp60 juta untuk biaya perjalanan gadis itu ke Malaysia sekaligus memenuhi kebutuhan biaya makan sang orang tua dan ketiga adiknya. Namun, uang itu baru akan diserahkan setelah pernikahan berlangsung.
Maka, remaja tersebut -sebut saja M- sambil menangis memeluk orangtuanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Kemudian M naik ke mobil pedagang yang dijejali anak-anak.
Dia belum mengetahui kengerian yang menantinya. Yang dia tahu saat itu hanyalah bahwa pundaknya yang kurus harus mampu menanggung beban hidup keluarganya.
Sekarang dia duduk di kamarnya di Ibu Kota Malaysia, Kuala Lumpur, tubuhnya yang kurus terbungkus piyama berhias boneka beruang. Kamar itu tanpa perabotan, dinding putih kosongnya terkelupas dan bernoda. Tampak tali yang diikat di langit-langit kamar, sengaja dirancang untuk menggantungkan ayunan bagi bayi-bayi hasil pernikahan mereka. Sang suami memaksa si gadis belia untuk hamil dan melahirkan.
“Aku ingin pulang ke rumah, tapi tidak bisa,” katanya dengan suara kecil yang nyaris tidak terdengar seperti gumaman. “Saya merasa terjebak.”
Itu lah sekelumit kisah sedih gadis Rohingya di negara perantauan. Memburuknya kondisi di Myanmar dan kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh, mendorong sejumlah gadis Rohingya di bawah umur mengungsi ke Malaysia. Tujuannya untuk dijodohkan dengan laki-laki Rohingya yang sering melakukan pelecehan terhadap mereka, demikian temuan The Associated Press dalam wawancara dengan 12 pengantin muda Rohingya yang tiba di Malaysia sejak 2022. Gadis termuda berusia 13 tahun.
Semua gadis yang diwawancara AP mengatakan bahwa mereka ditawan oleh suami yang mengekang dan jarang membiarkan mereka keluar. Beberapa bahkan mengatakan bahwa mereka dipukuli dan diperkosa oleh penyelundup dan pria lain selama perjalanan ke Malaysia, dan lima di antaranya mengatakan bahwa mereka disiksa oleh suami mereka. Separuh dari gadis-gadis tersebut hamil atau sudah memiliki bayi, meskipun sebagian besar mengatakan bahwa mereka tidak siap menjadi ibu.
Ketika ditanya apakah mereka memprotes keputusan orang tua mereka yang menikahkan mereka, mereka tampak bingung.
“Ini adalah satu-satunya jalan keluar saya,” kata F, 16 tahun. Ia masih dihantui oleh kenangannya tentang Myanmar. Pada 2017 ia menyaksikan tentara membakar rumahnya, memperkosa tetangganya, dan menembak mati bibinya. Pada tahun-tahun berikutnya, begitu seringnya suara tembakan terdengar di malam hari sehingga membuat ia trauma dengan suara letusan. “Saya belum siap menikah, tapi saya tidak punya pilihan,” ungkapnya.
Kini terjebak bersama suaminya yang berusia 27 tahun, dia mendambakan kebebasan yang belum pernah dia dan rakyatnya ketahui.
“Rohingya tidak punya tempat untuk berbahagia,” katanya.
Pernikahan yang tidak diinginkan tersebut adalah kekejaman terbaru yang dialami gadis-gadis Rohingya. Mereka telah mengalami serangkaian kisah sedih pada usianya yang masih relatif muda: masa kanak-kanak yang dirusak oleh kekerasan, ancaman pemerkosaan oleh pasukan keamanan, hingga bencana kelaparan di kamp-kamp pengungsi kumuh di Bangladesh selama bertahun-tahun.
Sikap apatis dunia terhadap krisis Rohingya dan kebijakan migrasi yang ketat membuat gadis-gadis tersebut hampir tidak punya pilihan. Militer yang menyerang etnis Rohingya menggulingkan pemerintah Myanmar pada 2021, menjadikan pemulangan warga Rohingya ke kampung halaman mereka merupakan sebuah rencana yang mengancam jiwa.
Bangladesh menolak memberikan kewarganegaraan atau bahkan hak dasar bekerja kepada jutaan warga Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan dan terbuang di kamp-kamp pengungsian. Dan tidak ada negara yang menawarkan peluang pemukiman kembali dalam skala besar.
Oleh karena itu, semakin banyak warga Rohingya yang mengungsi – dan semakin banyak perempuan yang mengungsi. Selama krisis kapal Laut Andaman 2015, yang menyebabkan ribuan pengungsi Rohingya terdampar di laut, sebagian besar penumpangnya adalah laki-laki. Tahun ini, lebih dari 60 persen warga Rohingya yang selamat dari penyeberangan Andaman adalah perempuan dan anak-anak, menurut badan pengungsi PBB.
Di Bangladesh, organisasi nirlaba Save the Children mengatakan pernikahan anak adalah salah satu kekhawatiran yang paling banyak dilaporkan di kalangan penghuni kamp.
“Kami melihat peningkatan kasus perdagangan anak,” kata Shaheen Chughtai, Direktur Advokasi dan Kampanye Regional Save the Children untuk Asia. “Anak perempuan lebih rentan terhadap hal ini, dan seringkali hal ini dikaitkan dengan pernikahan di wilayah yang berbeda.”
Karena gadis-gadis tersebut tinggal di pinggiran, tidak ada statistik akurat mengenai berapa banyak anak perempuan yang tinggal di Malaysia. Namun advokasi lokal yang bekerja dengan anak-anak perempuan tersebut mengatakan mereka melihat adanya peningkatan jumlah pengungsi dalam dua tahun terakhir.
“Ada banyak sekali warga Rohingya yang datang untuk menikah,” kata Nasha Nik, Direktur Eksekutif Jaringan Pengembangan Wanita Rohingya. Ia sendiri telah menangani ratusan pengantin anak sejak lembaga itu didirikan pada 2016.
Di dalam kantor kecil organisasi tersebut di Kuala Lumpur, terdapat beberapa mainan untuk bayi perempuan, setumpuk peralatan pendidikan tentang kekerasan berbasis gender, dan sederet mesin jahit tempat perempuan dan anak perempuan belajar membuat perhiasan dan kerajinan lain yang mereka jual untuk membantu menghidupi diri mereka sendiri.
“Tidak ada tempat aman lain bagi perempuan Rohingya di Malaysia,” kata Nasha. “Kekerasan dalam rumah tangga sangat tinggi.”
Malaysia tidak menandatangani konvensi pengungsi PBB, sehingga anak-anak perempuan tersebut – yang sebagian besar tidak memiliki dokumen – dianggap sebagai imigran ilegal. Maka, melaporkan serangan yang mereka alami kepada otoritas akan menghadapkan mereka pada bahaya dimasukkan ke salah satu pusat penahanan di Malaysia, yang telah lama digerogoti oleh laporan terkait adanya kekerasan dalam lembaga tersebut. [ah/rs]
[ad_2]