[ad_1]
Berbicara dalam Forum Pengungsi Global di Jenewa, Swiss, hari Rabu (13/12), Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan perang dan konflik yang terjadi di berbagai negara membuat dunia kini menghadapi lonjakan pengungsi yang sangat besar, yang sedianya diselesaikan bersama-sama.
“Semua negara memiliki kewajiban yang sama untuk menghentikan perang dan konflik, serta menghormati hukum internasional, terutama hukum humaniter internasional,” ujar Retno.
Kewajiban ini, tambahnya, juga berlaku untuk Palestina di mana mereka telah terusir dari rumahnya.
Retno juga merujuk kelompok pengungsi etnis minoritas Muslim-Rohingya yang terusir dari Myanmar karena berbagai aksi kekerasan. Setelah bertahun-tahun tinggal di berbagai kamp pengungsi yang memprihatinkan di Bangladesh, kini sebagian pengungsi mencari lokasi lain. Salah satu di antaranya adalah Indonesia.
Pengungsi Rohingya Serbu Aceh
Beberapa bulan terakhir ini gelombang pengungsi Rohingya tiba di berbagai daerah di pintu barat Indonesia, antara lain di Lhokseumawe, Aceh Utara dan Pulau Sabang.
“Ada indikasi kuat para pengungsi menjadi korban perdagangan dan penyelundupan manusia, termasuk ribuan pengungsi yang datang ke Indonesia. Adanya TPPO semakin menambah kompleksitas dan sulitnya penanganan isu pengungsi,” ujar Retno Marsudi.
Meskipun demikian Retno menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan ragu memberantas perdagangan manusia, yang merupakan kejahatan transnasional. Kerjasama erat di kawasan maupun internasional diyakini akan memberangus para pelaku.
Konvensi Pengungsi Tahun 1951
Secara khusus Retno menggarisbawahi bahwa setiap negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951 wajib menerima pengungsi dari negara transit. Dia menilai proses penempatan pengungsi di negara tujuan berjalan sangat lambat karena banyak negara tujuan menutup pintu bagi pengungsi.
Indonesia, yang tidak pernah menandatangani atau meratifikasi konvensi itu, dan bukan negara pihak baik dalam Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk menampung dan menyediakan pemukiman permanen bagi pencari suaka atau pengungsi. Namun setiap kali rombongan pengungsi tiba, Indonesia senantiasa mengulurkan tangan atas dasar kemanusiaan.
Sejak pertengahan November ini beberapa gelombang pengungsi etnis Rohingya, mendarat di Indonesia. Gelombang pertama pengungsi yang berjumlah 196 orang mendarat di pesisir Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, pada 14 November. Hingga 10 Desember, tercatat ada sembilan gelombang kedatangan para pengungsi etnis Rohingya yang membawa sekitar 1.600 orang. Mereka semua terdampar di Provinsi Aceh yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. Ini belum termasuk gelombang baru yang tiba hari Kamis (14/12) ini di Pulau Sabang.
Gelombang kedatangan para pengungsi dalam waktu singkat dengan jumlah besar ini memicu tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagian menginginkan agar pemerintah Indonesia menampung para pengungsi karena alasan kemanusiaan.
Di sisi lain, tak sedikit yang menolak kedatangan para pengungsi tersebut. Mereka beralasan, para pengungsi dapat menambah beban ekonomi dan menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.
Prof. Hikmahanto: Warga Rohingya Pendatang Gelap, Bukan Pengungsi
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia secara tegas menyebut kelompok warga Rohingya ini sebai “pendatang gelap,” dan bukan “pengungsi.” Ia merujuk pada Pasal 1 huruf A.2 dari Kovensi Pengungsi 1951 di mana Indonesia tidak meratifikasi namun diadopsi dalam Peraturan Presiden 125 Tahun 2016, yang mendefinisikan pengungsi sebagai “orang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara dimana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.”
“Orang-orang yang memasuki wilayah negara lain tidak serta merta bisa mendapatkan status atau dapat dikatakan sebagai pengungsi. Mereka harus melalui verifikasi oleh UNHCR atau oleh otoritas keimigrasian dari wilayah negara yang dimasuki. Tujuan verifikasi ini adalah untuk memastikan orang yang datang tersebut memenuhi definisi Pasal 1 Konvensi Pengungsi, disamping memastikan mereka bukanlah orang yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik dan tidak memilki catatan kriminal di negara asalnya,” ujar Hikmahanto. Ia mempertanyakan apakah etnis Rohingya telah diverifikasi oleh UNHCR atau Ditjen Imigrasi sehingga dapat dianggap sebagai pengungsi.
“Bila belum maka etnis Rohingya yang berdatangan ke Indonesia tidak dapat dikatagorikan dan disebut sebagai pengungsi, dan tidak bisa mendapatkan hak-haknya berdasarkan Konvensi Pengungsi atau Perpres 125,” ujarnya.
Lebih jauh Rektor Universitas Ahmad Yani ini mengatakan etnis Rohingya bisa saja dikategorikan sebagai pencari suaka, tetapi lagi-lagi harus diverifikasi oleh DItjen Imigrasi. “Bila Ditjen Imigrasi tidak melakukan verifikasi maka tidak akan diketahui secara jelas berapa etnis Rohingya yang saat ini telah berada di Indonesia. Bila menilik UU Keimigrasian khususnya Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 maka etnis Rohingya harus dikatagorikan sebagai pendatang gelap,” tegas Hikmahanto seraya menambahkan, “sebagai pendatang gelap maka pemerintah Indonesia mempunyai hak untuk mengusir atau mendeportasi etnis Rohingya.”
Gading Gumilang: Belum Ada Jalur Aman & Legal untuk Mengungsi
Hal berbeda disampaikan Gading Gumilang Putra di Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia yang mengatakan kelompok etnis minoritas Muslim-Rohingya dari Myanmar ini adalah populasi tanpa warga negara terbesar di dunia.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, respon kemanusiaan atas kedatangan pengungsi Rohingya dilakukan dalam dua fase, yakni humaniter dan koordinasi-advokasi. Lokasi pengungsian bersifat sementara dan biasanya agak jauh dari permukiman penduduk. Tempat penampungan bersifat semi-kamp, dengan penjagaan keamanan oleh polisi dan dukungan lembaga internasional. Pengungsi Rohingya tidak boleh keluar dari tempat penampungan dan warga setempat juga tidak boleh masuk ke sana.
“Para pengungsi umumnya melanjutkan perjalanan ke Malaysia melalui penyelundup. Jadi betul kalau memang ada indikasi TPPO dan penyelundupan karena sayangnya di dunia saat ini itu satu-satunya jalan untuk mengungsi. Belum ada jalur yang aman, legal, untuk mengungsi,” ujar Gading.
Badan PBB Urusan Pengungsi UNHCR mengatakan kelompok pengungsi Rohingya ini telah mendapatkan perlakuan ekstrem dari Myanmar. Mereka tidak diberi akses untuk mendapat kewarganegaraan dan pencatatan, layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja. Mobilitas mereka dibatasi di dalam kamp dan desa, serta kerap menjadi sasaran kekerasan ekstrem.
Aksi kekerasan dan pembantaian etnis pada pertengahan tahun 2017 memaksa sekitar satu juta warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh. Namun kondisi kamp-kamp yang penuh sesak dan tidak manusiawi mendorong mereka secara bertahap keluar dan mencari tempat yang lebih baik.
Karena tidak memiliki kewarganegaraan, tidak ada jalur hukum yang memungkinkan pengungsi Rohingya untuk pindah wilayah dan negara dengan mudah. Perjalanan laut merupakan satu-satunya alternatif yang ada. Sedikitnya pilihan yang ada bagi para pengungsi Rohingya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik membuat mereka menjadi santapan empuk pelaku perdagangan manusia. [fw/em]
[ad_2]