[ad_1]
Mahkamah Agung AS mendengarkan argumen dalam kasus media sosial yang mempertaruhkan hak kebebasan berbicara serta upaya pemerintah untuk mengatasi penyebaran misinformasi secara daring, hari Senin (18/3).
Kasus ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh jaksa agung dari Partai Republik di Louisiana dan Missouri, yang menuding pejabat pemerintah bertindak terlalu jauh dalam memerintahkan platform media sosial untuk memberantas misinformasi terkait vaksinasi dan pemilu.
Pada tahun lalu, pengadilan tingkat rendah membatasi pertemuan dan komunikasi beberapa pejabat tinggi dan badan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden dengan perusahaan-perusahaan media sosial guna mengatur konten mereka.
Keputusan tersebut disambut hangat para pegiat konservatif yang menuding pemerintah telah melakukan tindakan represif atau berkolusi dengan platform-platform seperti Facebook dan Twitter untuk menyensor konten yang berhaluan kanan, dengan dalih memerangi penyebaran misinformasi.
Perintah tersebut diberikan kepada sejumlah lembaga, termasuk Biro Investigasi Federal (FBI), Departemen Luar Negeri dan Departemen Kehakiman, serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).
Keputusan itu membatasi lembaga maupun pejabatnya untuk bertemu dengan perusahaan media sosial atau menandai postingan yang isinya tergolong “kebebasan berpendapat” yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi.
Jaksa Agung Louisiana Jeff Landry mengapresiasi keputusan bersejarah tersebut, dengan menyatakan bahwa hal itu akan mencegah pemerintahan Biden membungkam pernyataan politik warga Amerika di media sosial. Dia menuding para pejabat federal berupaya untuk mengatur apa yang warga Amerika boleh dan tidak boleh sampaikan di Facebook, Twitter, YouTube, dan platform lainnya, termasuk topik seperti COVID-19, pemilu, dan kritik terhadap pemerintah.
Keputusan tersebut dapat sangat membatasi akses lembaga-lembaga tinggi pemerintahan untuk memberi tahu platform media sosial ketika terdapat konten yang mengandung kebohongan atau ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konsekuensi yang membahayakan.
Namun, keputusan tersebut menyatakan bahwa pemerintah masih diperbolehkan untuk memberikan informasi kepada platform-platform tersebut mengenai postingan yang melibatkan tindak kejahatan, ancaman terhadap keamanan nasional, dan upaya asing untuk mempengaruhi proses pemilu. Selain itu, keputusan tersebut juga membatasi kemampuan lembaga pemerintah untuk berkolaborasi, berkoordinasi dan bermitra dengan organisasi seperti Kemitraan Integritas Pemilu, sebuah koalisi lembaga penelitian yang berfokus pada penanganan penyebaran kebohongan yang terkait dengan pemilu.
Beberapa ahli di bidang misinformasi dan undang-undang Amandemen Pertama mengkritik keputusan tersebut. Mereka mengatakan, pihak berwenang harus bisa menyeimbangkan upaya untuk mengungkap kebohongan agar tidak berujung pada upaya penyensoran dan pembatasan kebebasan berpendapat. [mm/rd]
[ad_2]