[ad_1]
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan sejak 2010 hingga 2022 telah terjadi kemajuan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan penurunan kasus baru sebesar 54 persen secara nasional.
Penurunan itu merupakan dampak positif dari akselerasi pengendalian yang dipusatkan pada intervensi pencegahan dan ekspansi berskala besar terapi antiretroviral. Meskipun demikian, perebakan luas COVID-19 pada 2020-2022 telah memperlambat upaya eliminasi HIV-AIDS selambat-lambatnya pada 2030.
“Jadi awal-awal dulu itu kan program tidak menyediakan obat, tapi setelah itu kita bisa menyediakan obat secara gratis dari program Kementerian Kesehatan sehingga ekspansinya, terapinya bisa lebih bagus lagi,” kata Imran Pambudi dalam Temu Media Hari AIDS Sedunia 2023, Kamis (30/11).
Peringatan Hari AIDS sedunia pada 1 Desember tahun ini mengangkat tema global “Biarkan Komunitas Memimpin.”
Menurut Program Gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS), dunia dapat mengakhir AIDS, dengan melibatkan komunitas secara signifikan. Organisasi masyarakat yang hidup dengan, berisiko, atau terdampak oleh HIV adalah garda terdepan dalam penanggulangan HIV.
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, yaitu sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Hingga September 2023, dari estimasi 515.455 orang dengan HIV (ODHIV), yang baru terindentifikasi sekitar 454 ribu orang atau 88 persen. Dari jumlah itu, 209 ribu ODHIV atau sekitar 40 persen di antaranya sedang mendapat pengobatan antiretrovilar (ARV). Untuk itu dibutuhkan dukungan komunitas agar semakin banyak ODHIV yang dapat mengakses pengobatan.
“Komunitas lah yang mungkin mempunyai akses yang lebih besar di dalam pendampingan kepada ODHIV dan bisa membantu mereka untuk bisa mengakses layanan terapi maupun layanan laboratorium,” tambahnya.
Antiretroviral (ARV) merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
Prevalensi HIV Tertinggi di Papua
Saat prevalensi HIV di sebagian besar wilayah Indonesia mencapai 0,26 persen, prevalensi di Papua dan Papua Barat mencapai 1,8 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Robby Kayame mengatakan jumlah penderita HIV di Provinsi Papua Tengah, Papua dan Papua Pegunungan mencapai 53 ribu. Ditambahkannya, upaya luar biasa pengendalian HIV di wilayah itu sempat terganggu oleh pandemi COVID-19.
“Memang penyebaran HIV AIDS akhir-akhir ini tinggi karena memang semangat kerja teman-teman ketika COVID-19 itu turun. Sehingga tidak ada support anggaran yang jelas sehingga banyak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang tutup, pengelola program AIDS di kabupaten kota juga tidak maksimal. Itu lah sebabnya kami dorong semua kabupaten kota untuk betul-betul mengambil komitmen untuk pengendalian bersama,” jelas Robby Kayame saat dihubungi Seleb.News, Jumat (1/12).
Momentum Hari AIDS Sedunia 2023, menurut Robby, menjadi pengingat bahwa penanganan HIV AIDS di Papua memerlukan keterlibatan semua pihak seperti dalam penanganan COVID-19.
“Perlu ada komitmen kuat dari pemerintah untuk pengendalian HIV secara baik merata, ini yang belum ada. Kalau kita buat komitmen seperti penanganan COVID-19 — siapa kerja apa, semua elemen terlibat — saya pikir AIDS ini bisa kita kendalikan,” kata Robby.
Pihak Dinas Kesehatan di Papua, ujarnya, akan terus mendorong ODHIV di wilayah itu untuk rutin mengonsumsi obat ARV. Pemerintah setempat juga akan memastikan agar ODHIV yang berada di wilayah perkotaan dan pelosok di wilayah Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan juga dapat mengakses obat ARV itu. [yl/em]
[ad_2]