[ad_1]
Sepanjang tahun 2023 ini, sejumlah peristiwa terkait pendirian dan pengelolaan rumah ibadah kembali memicu kontroversi tentang masalah kerukunan di antara umat beragama atau berkepercayaan di Indonesia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tahun ini, antara lain penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada bulan Maret, penutupan tempat ibadat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Jawa Barat pada bulan April, penutupan (sementara) Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah pada bulan Juni, penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat, pada bulan Agustus, dan penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, Aceh Darussalam pada bulan September 2023.
Ihsan Ali-Fauzi, pendiri sekaligus Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta, mengatakan meskipun jumlah kasus yang dilaporkan tidak banyak, namun konflik-konflik yang diakibatkannya tetap merusak citra kerukunan.
“Hal ini juga memberi isyarat kurang menggembirakan bahwa kita masih belum juga mampu menangani tantangan kerukunan ini secara memuaskan, meskipun kita sudah memasuki usia dua dekade Reformasi. Peristiwa-peristiwa sejenis pernah terjadi sebelumnya dan hingga sekarang penyelesaiannya masih terkatung-katung, walaupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah terlibat memediasinya,” ujar Ihsan.
Menurutnya, semua pihak dapat belajar dari berlarut-larutnya kasus pembangunan Gereja Yasmin di Kota Bogor selama 15 tahun, sebelum akhirnya diresmikan pada April lalu. Pelajaran paling berharga dari kasus ini adalah upaya mediasi oleh pemerintah daerah dan beragam pihak mestinya dilakukan sejak awal, bukan malah tunduk pada pihak penolak gereja.
Penodaan agama
Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) juga menyorot terkait penodaan agama. Direktur the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Zainal Abidin Bagir menjelaskan kecenderungan penanganan kasus-kasus penodaan agama dalam beberapa tahun terakhir ini dengan menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan tidak selalu menggunakan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait larangan penodaan agama.
“Kasus-kasus itu menjadi viral melalui media, khususnya media sosial, dan mengundang opini publik yang memaksa aparat penegak hukum menanggapinya. Jadi biasanya viral dulu, terus masuk ke polisi, Ketiga, polanya fatwa majelis keagamaan, MUI, cukup sentral dalam menentukan terpenuhinya unsur penodaan agama,” ujarnya.
Dia menyimpulkan ketidakjelasan unsur-unsur peristiwa penodaan agama merupakan kelemahan yang serius. Meskipun demikian ada perbaikan yang cukup signifikan tahun ini dalam Undang-undang KUHP yang baru di mana Pasal 156a tidak berlaku lagi dan diganti dengan Pasal 300 KUHP baru. Pasal itu tidak lagi berbicara tentang penodaan agama, tapi perbuatan yang bersifat menyatakan kebencian, permusuhan, atau menghasut untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan.
Sedangkan pasal 243 KUHP melarang pernyataan permusuhan terhadap orang atau kelompok atas dasar ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, diabilitas mental atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang.
Zainal menegaskan pasal 300 dan 243 dalam KUHP yang baru itu memperjelas perbuatan yang dilarang dengan menyebut unsur-unsurnya secara lebih jelas. Aparat penegak hukum seharusnya tidak bergantung lagi pada saksi ahli.
Sikap paradoks negara
Koalisi Advokasi KKB juga menyatakan negara masih terus menunjukkan sikap yang paradoks terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi penghayat kepercayaan. Ada kemajuan dalam hal peraturan terkait penghayat, namun ada juga yang mempertahankan paradigma lama yang diskriminatif. Sesungguhnya ada dua Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan kesetaraan penghayat kepercayaan dan agama-agama.
Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 tentang Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama (No.1/PNPS/1965), sekalipun menolak permohonan judicial review terhadap UU tersebut, menegaskan bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk mengakui agama tertentu, misalnya enam agama, karena beragama adalah hak alami bagi setiap warga negara.
Putusan MK 97/PUU-XIV/2016 tentang pengosongan kolom agama di KTP memutuskan bahwa pasal yang diuji tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang agama tidak dimaknai sebagai termasuk kepercayaan.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, pertanyaan bahwa apakah kepercayaan serupa dengan agama, atau berbeda dari agama, termasuk hak KBB yang melekat padanya, belum terjawab secara tegas dan kongkrit. Akibatnya, perlindungan dan pemenuhan hak KBB bagi penghayat kepercayaan terus mengundang kontroversi dari kalangan aparat negara dan publik.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Agama Mariana Hasbie menjelaskan pemerintah saat ini sedang menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama yang didalamnya akan mempermudah izin pendirian rumah ibadah.
“Intinya Perpers ini semangatnya adalah memfasilitasi umat beragama agar bisa beribadah, mempermudah pendirian rumah ibadah. Semangatnya menfasilitasi dan mempermudah,” kata Mariana.
Ia menegaskan bahwa pemerintah akan menjamin perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. [fw/em]
[ad_2]