[ad_1]
Seperti banyak anak muda yang tumbuh di Sardinia, Davide Sanna menyukai masakan Italia dan ingin memiliki karier yang sukses sebagai koki atau chef. Namun untuk menjemput impiannya itu, dia harus pindah ke New York, Amerika Serikat (AS).
Sanna telah mengabdikan waktunya selama empat tahun di dapur, mulai dari Pulau Mediterania hingga Italia utara sejak usia 19 tahun. Meskipun bekerja keras selama 60 jam seminggu, penghasilannya hanya mencapai 1.800 euro atau sekitar Rp30,6 juta. Di musim panas yang sibuk, ia bahkan bisa berdiri di depan kompor setiap hari selama dua bulan tanpa istirahat.
Kemudian seorang rekan koki menghubungkannya dengan seorang pemilik restoran yang sedang mencari juru masak di New York, kata Sanna. Dia menerimanya tanpa ragu.
Dalam setahun terakhir, pria berusia 25 tahun itu telah menjadi koki di Piccola Cucina, sebuah restoran Italia di distrik SoHo di Manhattan yang terkenal dengan butik desainer dan galeri seni mewah. Di New York, ia mampu menghasilkan $7.000 atau sekitar Rp108,7 juta per bulan dengan hanya bekerja 50 jam seminggu.
Masakan Italia memang terkenal di seluruh dunia. Namun, banyak koki muda berbakat yang bermimpi berkarier di negara mereka merasa frustrasi dengan gaji rendah, kurangnya perlindungan tenaga kerja, dan prospek yang terbatas. Sejak diperkenalkannya mata uang tunggal Eropa pada 25 tahun lalu, Italia menjadi negara dengan perekonomian paling lesu di zona euro.
Chef-chef ternama seperti Massimo Bottura, yang menjalankan Osteria Francescana di Modena, berusaha menghidupkan kembali kuliner Italia. Meski memiliki tradisi kuliner yang begitu kaya, Italia kurang terwakili dalam kategori restoran kelas atas. Negara ini hanya memiliki 13 restoran dengan tiga bintang Michelin—peringkat tertinggi dari buku panduan bergengsi tersebut- jumlah yang sama dengan Spanyol. Padahal, Jepang memiliki 21, dan Prancis memiliki 29.
Keluarnya chef Italia saat ini karena kondisi dalam negeri Italia yang sulit, bukanlah fenomena baru.
Orang Italia mulai memperkenalkan pizza dan pasta ke seluruh dunia selama emigrasi massal pada akhir abad ke-19. Popularitas masakan Italia di Eropa dan AS tumbuh seiring dengan semakin banyaknya imigran yang datang setelah Perang Dunia Kedua.
Lima Tahun? Bukan di Italia
Roberto Gentile, seorang koki berusia 25 tahun dari Sisilia, telah bekerja selama dua tahun terakhir memasak makanan Prancis di Le Suquet, sebuah restoran bintang dua Michelin dekat Toulouse. Sebelumnya ia bekerja di Inggris dan Spanyol.
Gentile, meskipun sangat menyukai masakan Italia dan memiliki keinginan sentimental untuk kembali ke Bel Paese (negara yang indah) seperti yang disebut oleh orang Italia, mengatakan bahwa disinsentif ekonomi terlalu kuat untuk mempertimbangkannya kembali ke negara itu.
“Setelah mendapatkan pengalaman di luar negeri dan mencapai level tinggi, Anda pasti berharap bisa kembali ke Italia dan mencari pekerjaan dan gaji yang sesuai, tapi itu tidak terjadi,” ujarnya. “Di mana saya melihat diri saya dalam waktu lima tahun ke depan? Bukan di Italia!”
Giorgia Di Marzo memutuskan untuk mengambil kesempatan dan kembali ke Italia pada 2018, setelah bekerja di Inggris sebagai koki dan manajer restoran selama delapan tahun. Perempuan berusia 36 tahun itu mengatakan ingin lebih dekat dengan keluarganya.
Namun tawaran hanya 1.200 euro atau Rp20,4 juta sebulan untuk bekerja 50 jam seminggu di sebuah restoran di Milan tidak masuk akal baginya. Upah di Italia menyusut drastis selama 30 tahun terakhir, disesuaikan dengan inflasi – satu-satunya negara di Eropa yang mengalami penurunan upah.
Sebaliknya, Di Marzo membuka restorannya sendiri di kota asalnya, Gaeta, sebuah kota tepi laut antara Roma dan Napoli yang telah menjadi resor sejak zaman Kekaisaran Romawi. Namun tak lama kemudian, dia mendapat masalah.
Tahun lalu, dia terpaksa menutup restorannya selama tiga bulan selama musim dingin, yang biasanya sepi pengunjung, karena lonjakan biaya. Dia juga tidak bisa mendapatkan pinjaman dari bank untuk sektor yang dianggap berisiko setelah pandemi COVID.
Makan di luar merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari di Italia. Data dari kelompok riset industri internasional IBISWorld menunjukkan bahwa Italia memiliki 156.000 restoran dan gerai makanan bawa pulang, yang kedua terbanyak di Eropa setelah Prancis.
Namun, rasio antara restoran baru yang dibuka dan yang tutup telah menjadi negatif selama enam tahun terakhir di Italia, menurut asosiasi bisnis sektor FIPE, di tengah pajak tinggi, birokrasi yang tak berkesudahan, dan situasi ekonomi yang sulit.
Memasak adalah Darah Kami
Francesco Mazzei yang berusia lima puluh tahun dilatih sebagai seorang koki di kampung halamannya Calabria di ujung selatan Italia, dan kemudian di Roma. Ia memilih meninggalkannya 27 tahun yang lalu menuju London di mana ia tiba “tanpa uang sepeser pun, bahkan untuk rokok.”
Dia mengasah seninya selama dua dekade di Inggris dan di seluruh dunia dan pada 2008 membuka restoran terkenalnya sendiri, bernama L’Anima, di kawasan keuangan London.
Lompatan pada awal karier itu, telah membawanya membuka restoran lain di London dan Malta serta menjadikannya seorang pengusaha dan konsultan restoran yang sukses.
“Saya tidak akan pernah bisa melakukan hal seperti ini di Italia,” katanya kepada Reuters.
“Di Inggris, Anda mempunyai kesempatan untuk melakukan bisnis, seorang juru masak tidak dikenakan biaya dua kali lipat dari gaji yang Anda bayarkan kepadanya,” katanya, mengacu pada tingginya biaya sosial dan pajak tenaga kerja di Italia. Karena alasan ini, para koki muda di Italia membawa pulang setengah gaji rekan-rekan mereka di Inggris sambil bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang, kata Mazzei.
Masyarakat Inggris sudah mempunyai pengetahuan tentang makanan Italia, bahkan belajar tentang perbedaan regional, katanya, jadi dia lebih memilih untuk mempekerjakan koki Italia untuk memuaskan permintaan pelanggan yang semakin meningkat.
“Bagi kami, orang Italia, memasak sudah mendarah daging. Kami satu-satunya orang di dunia yang bertanya ‘apa yang akan kami makan malam ini’ saat mereka sedang makan siang,” kata Mazzei.
Kebanggaan Pangan Italia
Pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mendirikan kementerian untuk kedaulatan pangan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kebanggaan nasional. Menteri Francesco Lollobrigida mengusulkan pada Maret untuk membentuk satuan tugas pencicip untuk memantau standar kualitas di restoran-restoran Italia di seluruh dunia. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menghindari koki membuat resep yang salah atau menggunakan bahan yang bukan berasal dari Italia.
Namun pemerintah juga memfasilitasi pengaturan kerja sementara dan informal yang merusak sektor restoran di Italia, dan menentang tuntutan upah minimum.
Antonio Bassu, seorang koki Sardinia berusia 28 tahun yang bekerja di sebuah restoran kelas atas di Barcelona, mengatakan gaji di Spanyol lebih rendah dibandingkan di Eropa utara. Namun, kondisi kerja masih jauh lebih baik daripada di negara asalnya.
Seorang koki di Spanyol dapat mengharapkan kontrak reguler berdasarkan jam kerja 40 jam per minggu dengan dua hari libur, katanya, berbeda dengan di Italia di mana mereka cenderung dipekerjakan dengan kontrak sementara, jika ada kontrak sama sekali.
“Di sini Anda tidak perlu mengemis untuk mendapatkan apa yang Anda dapatkan,” kata Bassu. [ah/ft]
[ad_2]