[ad_1]
Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Jr. mengatakan pemerintahnya “tidak akan melakukan upaya sekecil apa pun” untuk membantu Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) dalam penyelidikannya atas tindakan keras dan brutal negara itu terhadap penyalahgunaan narkoba.
Pengadilan internasional itu meluncurkan penyelidikan formal pada tahun 2021 atas kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pendahulu Marcos, Rodrigo Duterte. Sedikitnya 6.000 orang di negara itu terbunuh dalam kampanye antinarkoba Duterte selama enam tahun masa jabatannya, yang berakhir pada tahun 2022.
Namun, beberapa kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah korban tewas sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang, termasuk eksekusi yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang, menurut para aktivis, seringkali bekerja sama dengan polisi.
ICC membatalkan penyelidikannya setelah Manila mengatakan pihaknya telah meluncurkan penyelidikannya sendiri. Namun ICC memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya tahun lalu, dengan menyatakan ketidakpuasannya terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Filipina. Pengadilan menolak banding Manila untuk membatalkan keputusan itu.
Presiden Marcos mengatakan kepada wartawan hari Selasa (23/1) bahwa dia tidak mengakui yurisdiksi ICC, dan menyebutnya sebagai “ancaman terhadap kedaulatan Filipina.” Dia mengatakan para penyelidik ICC dapat memasuki negara tersebut “sebagai orang biasa” namun tidak akan menerima bantuan dari lembaga pemerintah mana pun.
Duterte menarik Filipina keluar dari ICC pada tahun 2019 setelah pengadilan itu meluncurkan penyelidikan awal atas tindakan kerasnya. [lt/jm]
[ad_2]