[ad_1]
Wisata berenang dan menyelam bersama hiu paús (Rhincodon typus) menuai banyak kontroversi. Banyak pihak menilainya sebagai kegiatan ekowisata yang memberdayakan masyarakat secara sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai kegiatan yang justru mengancam populasi ikan besar yang terancam punah ini.
Sejumlah studi baru-baru ini menunjukkan, ekowisata hiu paus ibarat pedang bermata dua: memberi keuntungan, tapi juga menawarkan kerugian.
Sebuah laporan yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports edisi September 2023, contohnya, menunjukkan, ekowisata yang satu ini memang meningkatkan kesadaran publik akan ikan yang terancam punah itu sekaligus memberikan keuntungan finansial, namun juga membahayakan eksistensi hewan laut liar tersebut.
Laporan yang disusun ilmuwan Inggris dan Meksiko ini menyebutkan, interaksi manusia dengan hiu yang satu ini dapat mengubah perilaku hewan tersebut dan menimbulkan konsekuensi ekologis lanjutan.
Para peneliti menemukan bahwa hiu menunjukkan perilaku yang terganggu ketika manusia berenang bersama mereka. Hewan itu cenderung bergerak lebih cepat. Jika hiu paus mengeluarkan lebih banyak energi daripada biasanya, mereka biasanya akan enggan mencari makan atau bereproduksi.
Keprihatinan terhadap kegiatan ekowisata ini sempat juga disuarakan organisasi-organisasi dan media-media lingkungan terkemuka, seperti World Wildlife Fund (WWF), Nature Conservancy, Safina Centre, dan Mongabay.
Adanya kontroversi terkait ekowisata hiu paus dibenarkan Sukirman Tilahunga, anggota Tim Monitoring Hiu Paus Gorontalo, sebuah tim khusus yang dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Jadi masih ada dua pendapat yang mengatakan bahwa itu bisa mengubah perilaku hiu paus, tapi juga ada sebagian yang mengatakan tidak akan ada dampaknya sepanjang itu dilakukan dalam koridor yang benar, seperti menjaga jarak dan tidak memprovokasi,” jelasnya.
Sukirman sendiri berpendapat, ekowisata hiu paus di Provinsi Gorontalo, tepatnya di Pantai Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, berusaha sungguh-sungguh memperhatikan upaya konservasi ikan besar yang tubuhnya bercorak totol-totol putih ini.
Menurutnya, penyelenggaraan ekowisata ini sudah memiliki SOP (standard operating procedure) mengenai bagaimana berinteraksi dengan hiu paus dan berusaha menegakkannya secara tegas. SOP itu termasuk menjaga jarak sekitar 3 meter dari kepala dan empat meter dari ekor; tidak boleh menyentuh hewan jinak itu; dan tidak boleh memprovokasi.
Namun Sukirman mengatakan, masih saja ada turis yang bandel melanggar aturan itu dan telah diberi peringatan.
“Kami tidak bosan-bosannya mengingatkan pengunjung untuk tidak menyentuh, menjaga jarak, dan kalau ada sampah plastik dari perairan perlu diangkat. Musuh terbesar hiu paus adalah sampah,” imbuhnya.
Kondisi serupa juga digambarkan Zainuddin, salah seorang operator ekowisata hiu paus di Teluk Saleh, Sumbawa, yang juga terlibat dalam kegiatan organisasi lingkungan Konservasi Indonesia. Biasa dijuluki local champion Konservasi Indonesia. Zainuddin mengatakan, turis asing yang umumnya penikmat wisata populer ini, terkadang ada yang melanggar.
“Sama di sini juga nakal. Sudah ada SOP seperti menjaga jarak, dan jangan menyentuh, tapi wisatawan dengan sengaja menyentuh si hiu paus,” jelas Zainuddin.
Ranny Ramadani Yuneni, koordinator nasional untuk program spesies laut yang terancam punah dan lindungi WWF, mengakui bahwa organisasinya ikut memprihatinkan perilaku tak bertanggungjawab pelaku wisata yang membahayakan hiu paus. Namun ia juga menegaskan bahwa ekowisata hiu paus juga memiliki manfaat positif, yakni memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dan meningkatkan kesadaran akan konservasi ikan besar ini. Menurutnya, jenis ekowisata ini bisa dipertahankan sepanjang dampaknya diminimalisir dan tidak berubah menjadi wisata massal yang sering berdampak negatif terhadap lingkungan.
“Sebenarnya yang paling penting adalah implementasi code of conduct, atau yang kita bisa bilang sebagai kode etik. Tidak hanya untuk wisatawan, tapi juga penyedia wisata seperti operator atau pemandu wisata,” komentarnya.
Pendapat serupa dilontarkan Meizani Irmadhiany, Direktur Eksekutif Konservasi Indonesia, organisasi lingkungan yang juga memiliki perhatian besar terhadap konservasi hiu paus.
“Kita tidak bisa menyamaratakan, tapi beberapa lokasi wisata hiu paus sudah cukup bagus tapi memang masih perlu diperkuat, terutama dari segi pengelolaan dan awareness,” jelasnya.
Baik Meizani maupun Ranny sama-sama berharap bahwa ke depannya ekowisata hiu paus di Indonesia mengadopsi praktik-praktik yang diberlakukan jenis ekowisata serupa di negara-negara maju.
Di banyak negara, kata Meizani, SOP diperkenalkan lewat cara yang lebih menarik, seperti melalui video yang diputar dalam frekuensi relatif sering atau poster-poster yang mengulik keingintahuan. Pemandu wisata juga tak kenal lelah mengingatkan wisatwan untuk mematuhinya.
Di Australia, kata Ranny, operator ekowisata hiu paus diwajibkan memiliki izin operasi (license) dan penyelenggaranya juga memberlakukan tarif yang mengutamakan kepentingan konservasi hiu paus.
“Semacam willingness to pay untuk environmental services, atau biasa kita sebut PES (payment for ecosystem services). Itu menjadi bagian dari sistem di mana wisatawan mau membayar sekian puluh ribu atau ratus ribu rupiah untuk konservasi hiu paus,” jelas Ranny.
Sukirman dan Zainuddin juga menentang pemikiran menutup ekowisata hiu paus. Mereka bersikeras mengatakan, kegiatan wisata yang satu ini sangat berwawasan lingkungan. Baik di Pantai Botubarani maupun di Teluk Saleh, kata mereka, para operatornya kerap memberlakukan SOP yang keras dan sama-sama membatasi jumlah pengunjung. SOP yang dimaksud Sukirman dan Zainuddin sebetulnya adalah aturan pelaksaan kode etik yang dimaksud Ranny.
“Ada kuota yang harus dibatasi ketika menjalankan wisata ini. Dalam satu rotasi per 20 menit pada sebuah area, hanya boleh ada satu kapal dan itupun maksimalnya mengangkut delapan orang,” imbuh Zainuddin.
Ekowisata yang satu ini juga tidak murah, sehingga tidak terjangkau oleh semua orang. Zainuddin mengungkapkan, “Rata-ratanya kita mematok harga Rp2,6 juta itu per orang. Tapi kalau kapalnya semakin banyak menampung orang, tarifnya bisa menurun. Kalau satu kapal ada lima orang, tarifnya bisa Rp700 ribu per orang.”
Menurut Sukirman mempertahankan ekowisata hiu paus di Pantai Botubarani juga sangat beralasan. Selain menggairahkan ekonomi setempat, lokasi beredarnya hiu paus itu sangat dekat dengan pantai, hanya sekitar 15 meter dari bibir pantai sehingga tidak membutuhkan kehadiran perahu atau kapal bermesin yang bisa membahayakan hiu paus. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bahkan mencatat, Pantai Botubarani sebagai tempat lokasi wisata hius paus paling dekat dengan pantai di dunia.
Sukirman membandingkan wisata hiu paus Botubarani dengan sejenisnya di Ningaloo, Australia. Di negara tetangga itu, gerombolan hiu paus ditemukan jauh dari pantai. Para turis biasanya harus naik kapal pesiar atau kapal bermotor untuk bisa menyaksikan kehadiran mereka dari dekat. Lokasi hewan laut itu umumnya juga baru diketahui setelah dilacak helikopter pemantau. Kehadiran kapal-kapal bermesin itu membahayakan populasi ikan yang geraknya tergolong lambat ini.
Ekowisata hiu paus, kata Sukirman, juga mendongkrak perekonomian setempat. Berdasarkan perhitungan, nilai penjualan tiket masuk ke pantai itu mencapai lebih dari Rp320 juta sepanjang tahun 2022. Ia mengatakan, jika dihitung dengan pemasukan dari sektor-sektor penunjangnya, termasuk hotel, restoran, dan pemandu wisata, angkanya bisa membengkak berkali-kali lipat.
Paling tidak, kata Sukirman, ini tercermin dari kondisi kawasan Pantai Botubarani. Dulunya, rumah-rumah di sana pada umumnya adalah rumah semipermanen yang tidak layak huni dan terbuat dari kayu ala kadarnya. Kini, semua rumah di sana tergolong permanen, dan banyak di antaranya diubah menjadi hotel, cottage dan restoran.
Sukirman menjelaskan, kawasan Pantai Botubarani merupakan wilayah perairan yang tepat bagi hewan pengembara ini karena kekayaan nutrisinya. Tak heran, hiu paus terlihat sepanjang tahun di pantai itu. Masa puncak keberadaan hewan itu biasanya pada Mei-hingga Juli, kecuali pada tahun 2023 yang berlangsung dari April hingga Juli. Pada masa puncak itu, dalam sehari bisa ada enam ekor yang menampakkan diri.
Meski demikian, Sukirman juga memahami kekhawatiran banyak pihak terhadap populasi ikan yang terancam punah itu. Tingkat reproduksi ikan raksasa yang terpanjang dan pernah tercatat adalah 18 meter, sangat rendah. Hiu paus, kata Sukirman, mengalami pemijahan pertama kali pada usia 30 tahun. Bayi-bayi yang diproduksinya bisa ratusan – dengan panjang 60 hingga 90 sentimeter – namun memiliki tingkat bertahan hidup (survival rate) yang rendah. Artinya, hanya sedikit yang bisa bertahan hidup hingga usia dewasa.
Berdasarkan catatan tim monitoring Hiu Paus Gorontalo, penampakan hiu paus juga menurun dari tahun ke tahun, yang kemungkinan menyiratkan menurunnya populasi secara keseluruhan.
“Semakin ke sini semakin menurun. Pada tahun-tahun yang pernah saya dokumentasi, tahun 2020 ada 11 ekor, tahun 2022 ada 8 ekor, pada tahun ini hanya 6 ekor.”
Meski demikian Sukirman membantah, ekowisata merupakan ancaman besar hiu paus. Ia mengatakan, populasi hewan itu terancam punah lebih karena perburuan dan sering tertabrak kapal, mengingat geraknya yang lambat.
Sejumlah penelitian di dalam dan luar negeri menunjukkan, hiu paus cenderung bersikap waspada ketika didekati manusia atau perahu. Waspada sendiri, menurut banyak peneliti, dapat diartikan sebagai reaksi tubuh terhadap stres.
Hiu yang mengalami stres cenderung kehilangan selera makan sehingga mengurangi frekuensi makannya. Dalam jangka panjang, frekuensi makan yang menyusut akan mengurangi asupan energi yang pada akhirya akan menurunkan kemampuan reproduksi atau kelangsungan hidupnya.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Ikan yang tergolong spesies yang terancam punah berdasarkan Uni Internasional Konservasi Alam (IUCN) in juga mengalami perubahan perilaku karena interaksinya yang intens dengan manusia.
Sebuah studi di Bahia de los Angeles, Meksiko yang diterbitkan di jurnal Oryx tahun 2018 menunjukkan, kontak dengan manusia membuat sejumlah hiu paus mengubah cara mereka menyelam dan bergerak. Studi itu mengamati sekitar 77 ekor hiu paus.
Yang juga tak kalah memprihatinkan adalah kegiatan memberi makan satwa liar ini. Secara alamiah, hiu paus adalah hewan pengembara. Tindakan memberi makan membuat sebagian dari mereka tetap tinggal. Tidak jarang karena mencari makanan dari manusia, hiu paus mendekati kapal pemburu dan membahayakan diri mereka sendiri. Hal demikian pernah teramati di Filipina dan Indonesia.
Sebuah penelitian di Filipina mengungkapkan sekitar 150 kilogram hingga 400 kilogram kulit udang ditebar tiap pagi untuk menarik hiu paus muncul ke permukaan demi turis.
Atraksi ini membuat hiu paus lebih sering makan dalam posisi berdiri. Meski secara alami juga dilakukan, cara ini membuat energi yang dilepas oleh hiu paus menjadi lebih besar.
Dengan menjadikannya objek wisata, hiu paus juga mengalami peningkatan risiko tertumbuk perahu atau kapal, salah satu faktor yang diduga berkontribusi signifikan terhadap menurunnya populasi ikan ini. Tumbukan dengan kendaraan transportasi laut itu sering kali melukai hiu paus dan tak jarang menewaskannya.
Sebuah studi yang mengevaluasi ekowisata hiu paus di Australia dari tahun 1995 hingga tahun 2004 menunjukkan, ketereksposan satwa ini terhadap manusia dan kegiatannya, menurunkan 40 persen penampakan satwa ini. Para periset cenderung menyamakan penampakan dengan populasi, mengingat sulitnya menghitung secara pasti populasinya.
Safina Centre, organisasi nirlaba lingkungan yang berkantor pusat di kota New York memperkirakan populasi hiu paus secara global saat ini antara 119.000 dan 238.000 ekor. Jumlah ikan ini terus menyusut karena perburuan, polusi laut, dan interaksi dekat dengan manusia, kata organisasi itu.
Meskipun dianggap tindakan ilegal, perburuan hiu paus masih terjadi. Sekitar 500-600 hiu paus ditangkap oleh sebuah perusahaan terkenal China setiap tahunnya, kata Safina Centre tanpa merincinya.
Terlepas dari kontroversi wisata hiu paus, menurut Meizani dari Konservasi Indonesia, yang saat ini penting dilakukan Indonesia adalah mendata populasi hewan ini. Ia mengatakan, semakin banyak pemantauan dilakukan, semakin banyak informasi yang diperoleh tentang spesies ini, dan semakin terarah upaya konservasinya.
“Selama ini sighting ikan paus ini ada dari Sabang sampai Merauke. Maksudnya dari Aceh sampai Papua. Tapi yang punya long term data ini hanya beberapa tempat di Indonesia. Dengan data yang ada saat ini, kita belum bisa mengekstrapolasi jumlah hiu paus yang ada di Indonesia dan bagaimana pergerakannya,” pungkasnya. [ab/uh]
[ad_2]