[ad_1]
Geram karena mandegnya pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga, Jumiyem akhirnya memutuskan untuk masuk gelanggang persaingan sebagai caleg dalam Pemilu 2024. Melalui Partai Buruh, perempuan ini mencalonkan diri sebagai caleg DPR untuk Daerah Pemilihan (Dapil) DI Yogyakarta.
Bekal sosialnya lumayan besar. Jumiyem pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) selama 30 tahun dan kemudian aktif sebagai aktivis yang membela hak-hak rekannya dengan menjadi anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) di Yogyakarta. Ketika bekerja sebagai PRT, dia juga meneruskan sekolah yang sempat berhenti di tingkat SMP, hingga meraih gelar sarjana hukum.
Yang tidak dia miliki adalah bekal dana. Di tengah kompetisi keras dengan praktik politik uang yang terang-terangan, dia akhirnya tersingkirkan.
“Saya melihat bahwa situasi politik saat ini, memang perempuan banyak yang memiliki kesadaran untuk maju sebagai caleg, meskipun pada akhirnya mentok pada masyarakat juga ya, karena seakan-akan uang itu menjadi tolok ukur untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat,” kata dia dalam diskusi Feminisme dan Pemilu: Representasi, Demokrasi, dan Ideologi, memperingati Hari Perempuan Internasional, yang diselenggarakan LETSS Talk, 8 Maret 2024 lalu.
Dalam diskusi ini pula, Jumiyem merinci bagaimana tanggapan pemilih yang secara terbuka meminta uang sebagai balasan untuk suaranya.
“Melihat dari proses kita dalam berkampanye, masih banyak masyarakat yang belum belum menyadari pentingnya peran perempuan di dalam kancah politik ini. Lebih parahnya, siapa yang punya uang itu yang bisa menang,” tandasnya.
Pengalaman serupa dihadapi politisi perempuan senior, Eva Kusuma Sundari. Pemilu kali ini, dia maju sebagai caleh DPR dari Partai Nasdem dari daerah pemilihan Jawa Timur VIII.
Sepanjang proses kampanye, dia mengaku merasakan betul bagaimana politik transaksional dipraktikkan tanpa malu-malu. Dia bahkan setuju dengan pendapat yang belakangan muncul, bahwa hanya dua kelompok yang bisa mengumpulkan suara di pemilu cukup banyak, yaitu artis dan mereka yang berbekal dana besar.
Praktik ini juga meminggirkan perempuan, sehingga afirmasi yang diperjuangkan menjadi kurang bermakna. Eva mengusulkan ada peninjauan sistem pemilu, jika ingin lebih banyak perempuan masuk parlemen, baik di pusat maupun daerah.
“Kalau enggak ada amplop, enggak akan tumbuh (suaranya), jadi aku mempertanyakan, kalau masih percaya afirmasi, syaratnya ya tertutup itu. Ongkos politik jadi lebih rendah dan lebih waras perilakunya. Ini asumsi berdasarkan pengalaman,” kata Eva.
Sistem tertutup yang disebut Eva diterapkan di masa lalu, di mana partai berperan lebih besar dibanding caleg. Prioritas juga diberikan dengan mendudukkan caleg tertentu di nomor urut jadi. Dalam sistem ini, jika partai berkomitmen menjadikan perempuan sebagai wakilnya di parlemen, maka yang dilakukan adalah menempatkan caleg perempuan di nomor urut 1.
“Karena sistem terbuka pada saat perut kosong, dan pada saat indeks persepsi korupsi kita itu demikian rendah, itu membuat perilaku semua yang terlibat itu jadi korup,” tambah Eva.
Eva menekankan, ada semacam sikap di kalangan pemilih, bahwa amplop dari caleg merupakan hak bagi mereka.
“Jalan melindungi perempuan dan kelompok marjinal adalah kalau tertutup itu, dan yang kedua biayanya lebih murah. Orang lebih waras,” kata dia lagi.
Aktivis perempuan Damairia Pakpahan menganggap penting meningkatnya jumlah politisi perempuan di parlemen.
“Jadi diharapkan memang meningkatnya keterwakilan perempuan di arena politik itu menghasilkan perubahan kebijakan,” kata dia dalam diskusi yang sama.
Selain persoalan jumlah, perempuan di politik juga menanggung beban soal kapasitas. Salah satu contohnya adalah dengan ketua DPR yang seorang perempuan dan persentase seperlima dari jumlah total anggota, masih banyak agenda perempuan Indonesia terabaikan.
“Kita juga tahu ya, ternyata Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat, belum lagi Undang-Undang Kesetaraan Gender, boro-boro ya. Jadi itu juga kadang-kadang, enggak nyambung,” kata Damairia.
Bisa dimaklumi kemudian jika Juminem, sebagai aktivis PRT maju sebagai caleg. Dia dan juga banyak perempuan lain merasa, menitipkan aspirasi mereka ke anggota DPR yang tidak memahami kepentingan mereka, tidak akan membuahkan hasil maksimal.
Damairia juga menyentil soal mahalnya biaya pencalonan, yang menjadi persoalan dan belum diselesaikan sampai saat ini.
Cerita Sama di Amerika
Dari belahan dunia lainnya, Associated Press melaporkan kondisi yang nyaris sama di Amerika Serikat. Hampir 130 tahun sejak tiga perempuan pertama terpilih menduduki jabatan legislatif negara bagian di AS, perempuan masih sangat sedikit terwakili di badan legislatif tingkat ini.
Di 10 negara bagian, politisi perempuan jumlahnya kurang dari 25 persen dari jumlah anggota badan legislatif negara bagian. Data ini dikumpulkan oleh Rutgers’ Center for American Women in Politics.
West Virginia berada di urutan paling bawah dalam daftar tersebut, dengan hanya memiliki 16 perempuan dari 134 anggota Badan Legislatif, atau di bawah 12 persen. Angka rendah serupa juga ditemukan di negara bagian selatan seperti Mississippi, South Carolina, Tennessee, dan Louisiana.
Kayla Young adalah perempuan anggota Dewan Perwakilan di negara bagian West Virginia.
“Sungguh aneh, melihat bahwa lebih dari 50 persen penduduk West Virginia adalah perempuan, tapi terkadang saya satu-satunya perempuan yang menjadi anggota sebuah komite,” kata Young.
Young saat ini merupakan satu-satunya perempuan di Komite Kecerdasan Buatan DPR, dan satu dari dua anggota Komite Kehakiman DPR yang menyetujui larangan aborsi yang hampir total di negara bagian tersebut.
Cerita yang sama juga terjadi di Partai Republik, juga di negara bagian tersebut. Pada 2020, guru sekolah negeri di sebuah kota kecil bernama Amy Grady, mengejutkan panggung politik ketika dia mengalahkan Presiden Senat saat itu, Mitch Carmichael di pemilihan pendahuluan Partai Republik di West Virginia.
Sebagai calon petahana, laki-laki dan memilki modal politik kuat, Carmichael menerima sumbangan lebih dari 127 ribu dolar AS dalam kampanye. Sementara Grady mendanai sendiri kampanyenya dengan anggaran hanya 2 ribu dolar AS. Hebatnya, Grady menang dengan selisih suara kurang dari seribu.
“Hanya saja, Anda terus-menerus diberitahu, ‘Anda tidak bisa, Anda tidak bisa, Anda tidak bisa melakukannya’,” kata Grady, yang kini menjadi ketua Komite Pendidikan Senat.
Nasib senator negara bagian Tennessee, Charlane Oliver juga tidak berbeda banyak. Dia mengatakan dia tidak memiliki banyak sumber daya ketika mencalonkan diri untuk jabatan politik. Dia harus bergantung pada aktivisme dan pengorganisasian akar rumput untuk memenangkan pemilu tahun 2022.
Jumlah perempuan yang mengisi kursi legislatif di AS masih tetap rendah, meskipun jumlah perempuan yang mendaftar dan memberikan suara lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam setiap pemilihan presiden sejak tahun 1980 – dan di hampir semua demografi, termasuk ras, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi.
Kadang, faktornya juga ada di jumlah calon itu sendiri.
Selama tiga dekade terakhir, para pemilih di AS menunjukkan kesediaan mereka untuk memberikan suara bagi perempuan. Namun mereka tidak memiliki kesempatan melakukan itu, karena tidak adanya perempuan yang mencalonkan diri.
Hal itu dikatakan Jennifer Lawless, Kepala Departemen Politik, Universitas Virginia.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
“Kesenjangan gender dalam ambisi politik saat ini sama besarnya dengan dulu,” kata Lawless.
Dia menambahkan, bahwa perempuan cenderung tidak direkrut untuk mencalonkan diri atau merasa memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam apa yang mereka anggap sebagai lingkungan politik penuh permusuhan.
Sementara di negara bagian kawasan selatan yang konservatif, banyak perempuan mencalonkan diri dari Partai Demokrat, tetapi kalah karena di negara-negara bagian tersebut, mayoritas memilih calon Partai Republik.
Pada tahun 2022, 39 perempuan mencalonkan diri sebagai calon untuk kursi legislatif negara bagian di West Virginia, 26 di antaranya dari Partai Demokrat. Hanya dua kandidat Partai Demokrat yang menang, sedangkan 11 dari 13 kandidat Partai Republik menang.
Debbie Walsh, Direktur Center for American Women in Politics di Rutgers, mengatakan ada lebih banyak dana, infrastruktur, dan dukungan untuk merekrut dan mencalonkan kandidat perempuan dari Partai Demokrat.
Partai Republik sering kali enggan membicarakan apa yang dicap sebagai “politik identitas,” ini.
“Ini adalah keyakinan terhadap meritokrasi dan, “kandidat terbaik akan muncul. Dan kalau perempuan, bagus,” kata Walsh. [ns/ab]
[ad_2]